Namaku Didi. Sekarang saya berkerja di salah satu perusahaan multinasional di kota B dan tinggal di daerah J sejak tahun 1995. Cerita yang akan saya tuturkan di bawah ini adalah kisah nyata yang terjadi beberapa tahun yang silam. Dulu saya tinggal bersama kedua orang tuaku di sebuah kompleks kecil milik sebuah instansi pemerintah dan dihuni oleh beberapa keluarga saja di dalam satu pagar. Tetangga yang paling dekat dengan kami adalah Om Yan dan Tante Titik yang mempunyai 2 orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil, yang besar berumur 3 tahun dan yang kecil berumur 1 tahun.
Pada saat saya kelas 3 SMA, Om Yan secara kebetulan ditugaskan oleh kantornya untuk belajar ke Jepang (terakhir saya baru tahu kalau Om Yan bertugas selama 1 tahun lebih). Dan tinggallah Tante Titik dan 2 orang anaknya beserta 1 orang pembantunya. Keadaan tersebut membuat saya berhasrat untuk selalu bertandang ke rumahnya dengan alasan ingin bermain dengan kedua anaknya. Alasan tersebut cukup kuat karena orang tua saya dan Tante Titik tidak pernah curiga sama sekali. Seringkali saya juga memergoki Tante Titik sedang berganti pakaian di kamar dengan tidak menutup pintunya, atau mandi dengan tidak menutup pintunya.
Sampai pada suatu ketika, saat saya sedang bertandang ke rumahnya dan hanya Tante Titik yang ada di rumah. Kedua anaknya dan pembantunya di-hijrah-kan ke daerah KD, sebelah timur kota BT karena Tante Titik sering berpergian. Dan kebetulan juga orang tua saya saat itu sedang ditugaskan ke luar daerah. Dengan ikutnya ibu dan kakak saya, yang berarti saya juga hanya tinggal sendiri di rumah.
Sekedar gambaran, Tante Titik itu mempunyai tinggi badan sekitar 165 cm, mempunyai pinggul yang besar, buah pantat yang bulat, pinggang yang ramping, dan perut yang agak rata (ini dikarenakan senam aerobic, fitness, dan renang yang diikutinya secara berkala), dengan didukung oleh buah dada yang besar dan bulat (belakangan saya baru tahu bahwa Tante Titik memakai Bra ukuran 36B untuk menutupinya). Dengan wajah yang seksi menantang dan warna kulit yang putih bersih, wajarlah jika Tante Titik menjadi impian banyak lelaki baik-baik maupun lelaki hidung belang.
Hingga pada suatu sore, saat saya mendengar ada suara langkah kaki di luar, kemudian saya intip dari jendela dan ternyata Tante Titik baru pulang. Tidak lama kemudian saya ingin ke kamar mandi (kamar mandinya terletak di luar masing-masing rumah dan ada beberapa tempat yang berjejer). Di saat saya keluar dari kamar mandi, saya berpapasan dengannya. Dia memakai kimono tipis warna biru muda dengan handuk di pundak dan rambut yang diikat agak ke atas sehingga leher jenjangnya terlihat seksi sekali. Sedangkan saya hanya memakai celana pendek tanpa kaos (memang kalau di rumah, saya jarang memakai kaos/baju).
“Malem Tante”, saya sapa dia agar terlihat agak sopan.
“Malem Mas Dio.. kok belum tidur..?” balasnya.
Dan tanpa saya sadari tiba-tiba dia mencekal tangan saya.
“Mas Dio..” katanya tiba-tiba dan terlihat agak sedikit ragu-ragu.
“Ya Tante..?” Jawab saya.
“Eee.. nggak jadi deh..” Jawabnya ragu-ragu.
“Ada yang bisa saya bantu, Tante..? Tanya saya agak bingung karena melihat keragu-raguannya.
“Eee.. nggak kok. Tante cuma mau nanya..” jawabnya dengan ragu-ragu lagi.
“Mas Dio di rumah lagi ngapain sekarang..?” tanya dia.
“Lagi nonton. Emangnya kenapa Tante..?” saya tanya dia lagi.
“Lagi nonton apa sih..?” tanya dia agak menyelidik.
“Lagi nonton BF Tante”, kata saya yang tidak tahu dari mana tiba-tiba saya mendapat keberanian untuk bilang begitu.
“BF..? tanya dia agak kaget.
“Maksudnya Blue Film..?”
“Iya.. emangnya ada apa sih Tante? Kalo tidak ada apa-apa saya mau nerusin nonton lagi nih..” kata saya dengan agak memaksa.
“Eee.. mau bantuin Tante nggak..? Soalnya Tante agak takut sendirian di rumah. Kalau kamu mau sambil nonton juga boleh kok. Bawa aja filmnya ke rumah, Tante juga punya beberapa film seperti itu. Nanti Tante temenin nontonnya deh”, kata dia agak merajuk.
“Iya deh Tante, saya pilihin dulu yang bagus”, kataku tanpa ba bi Bu langsung setuju dengan ajakannya.
Pucuk di cinta ulam tiba, sesuatu yang sangat aku impikan sejak lama untuk bisa berdua dengan Tante Titik. Hari ini aku akan berdua dengannya sambil menonton Film Biru dengan harapan bisa melihat keindahan ragawi seorang wanita yang aku puja-puja dari dulu dan bahkan (mungkin) merasakan kenikmatannya juga.
Singkat kata saya langsung memilah-milah video yang bagus-bagus (Maklum, waktu itu masih jamannya Betamax, belum VCD). Kemudian saya masuk rumah Tante Titik lewat pintu dapurnya. Saya setel lebih dulu video yang tadi saya tonton dan belum habis. Beberapa menit kemudian Tante Titik masuk lewat pintu dapur juga dengan wangi tubuh yang segar, apalagi rambutnya juga kelihatan basah seperti habis keramas. Saya selidiki tiap sudut tubuhnya yang masih terbalut kimono tipis biru muda yang agak menerawang tersebut, sehingga dengan leluasa mata saya melihat puncak buah dadanya karena dia tidak memakai Bra. Tanpa kusadari, di antara degupan jantungku yang terasa mulai keras dan kencang, kejantananku juga sudah mulai menegang. Dengan santai dia duduk tepat di sebelahku, dan ikut menonton film BF yang sedang berlangsung.
“Cakep-cakep juga yang main..” akhirnya dia memberi komentarnya.
“Dari kapan Mas Dio mulai nonton film beginian..? tanyanya.
“Udah dari dulu Tante..” kataku.
“Mainnya juga bagus dan tidak kasar. Mas Dio udah tahu rasanya belum..? tanya dia lagi.
“Ya belum Tante. Tapi kata temen-temen sih enak. Emang kenapa Tante, mau ngajarin saya yah? Kalau iya boleh juga sih”, kataku.
“Ah Mas Dio ini kok jadi nakal yah sekarang”, katanya sambil mencubit lenganku.
“Tapi bolehlah nanti Tante ajarin biar kamu tahu rasanya”, tambahnya dengan sambil melirik ke arahku dengan agak menantang.
Tidak lama berselang, tiba-tiba Tante Titik menyenderkan kepalanya ke bahuku. Seketika itu pula aku langsung kaget dan bingung karena belum pernah sama sekali melakukan perbuatan itu. Tapi aku hanya bisa pasrah saja oleh perlakuannya. Sebentar kemudian tangan Tante Titik sudah mulai mengusap-ngusap daerah tubuhku sekitar dada dan perut (karena lagi-lagi aku tidak memakai kaos saat itu).
Rangsangan yang ditimbulkan dari usapannya cukup membuat aku nervous karena itu adalah kali pertama aku diperlakukan oleh seorang wanita, apalagi wanita tersebut tidak lain adalah Tante Titik. Kejantananku sudah mulai semakin berdenyut-denyut siap bertempur.
Kemudian Tante Titik mulai menciumi leherku, lalu turun ke bawah sampai dadaku. Sampai di daerah dada, dia menjilat-jilat ujung dadaku, secara bergantian kanan dan kiri. Tangan kanan Tante Titik juga sudah mulai masuk ke dalam celanaku, dan mulai mengusap-usap kejantananku.
Karena dalam keadaan yang sudah sangat terangsang, aku mulai memberanikan diri untuk membuka kimono yang dia pakai. Aku remas payudaranya, dan aku pilin-pilin ujung dari payudara yang berwarna kecoklatan dan sangat sensitif itu, terkadang aku juga mengusap ujung-ujung tersebut dengan ujung jariku. “Ssshh.. ya situ sayang..” katanya setengah berbisik. “Ssshh.. oohh..”
Tiba-tiba dia memaksa lepas celana pendekku, dan diusapnya kejantananku. Akhirnya bibir kami saling berpagutan dengan penuh nafsu yang sangat membara. Dan dia mulai menjulur-julurkan lidahnya di dalam mulutku. Sambil berciuman tanganku mulai bergerilya ke bawah sampai pada permukaan celana dalamnya, yang rupanya sudah mulai menghangat dan agak lembab. Aku melepaskan celana dalam
Tante Titik, sehingga kami berdua menjadi telanjang bulat. Kutempelkan jariku di ujung atas permukaan kemaluannya. Dia kelihatan agak kaget ketika merasakan jariku bermain di daerah seputar klitorisnya.
Lama kelamaan Aku masukkan satu jariku, lalu jari kedua dan kemudian aku tambah satu jari lagi sehingga menjadi tiga ke dalam liang kemaluannya. “Aaahh.. sshh.. oohh.. terus sayang.. terus..” bisik Tante Titik.
Ketika jariku terasa mengenai akhir lubangnya, tubuhnya terlihat agak bergetar. “Ya.. terus sayang.. terus.. aahh.. sshh.. oohh.. aahh.. terus.. sebentar lagi.. teruuss.. oohh.. aahh.. aarrgghh..” kata Tante Titik.
Seketika itu pula dia memeluk tubuhku dengan sangat erat sambil menciumku dengan penuh nafsu. Aku merasakan bahwa tubuhnya agak bergetar (yang kemudian baru aku tahu bahwa dia sedang mengalami orgasme). Beberapa saat tubuhnya mengejang-ngejang menggelepar dengan hebatnya. Yang diakhiri dengan terkulainya tubuh Tante Titik yang terlihat sangat lemas di sofa.
“Saya kapan Tante, kan saya belum..?” Rujukku.
“Nanti dulu yah sayang, sebentar.. beri Tante waktu untuk istirahat sebentar aja”, kata Tante Titik.
Tapi karena sudah sangat terangsang, kuusap-usap bibir kemaluannya sampai mengenai klitorisnya, aku dekati payudaranya yang menantang itu sambil kujilati ujungnya, sesekali kuremas payudara yang satunya. Sehingga rupanya Tante Titik juga tidak tahan menerima paksaan rangsangan-rangsangan yang kulakukan terhadapnya. Sehingga sesekali terdengar suara erangan dan desisan dari mulutnya yang seksi. Aku usap-usapkan kejantananku yang sudah sangat amat tegang di bibir kemaluannya sebelah atas. Sehingga kemudian dengan terpaksa dia membimbing batang kemaluanku menuju lubang kemaluannya. Pelan-pelan saya dorong kejantananku agar masuk semua.
Kepala kejantananku mulai menyentuh bibir kewanitaan Tante Titik. “Ssshh..” rasanya benar-benar tidak bisa kubayangkan sebelumnya. Lalu Tante Titik mulai menyuruhku untuk memasukan kejantananku ke liang kewanitaannya lebih dalam dan pelan-pelan. “Aaahh..” baru masuk kepalanya saja aku sudah tidak tahan, lalu Tante Titik mulai menarik pantatku ke bawah, supaya batang kejantananku yang perkasa ini bisa masuk lebih dalam. Bagian dalam kewanitaannya sudah terasa agak licin dan basah, tapi masih agak seret, mungkin karena sudah lama tidak dipergunakan. Namun Tante Titik tetap memaksakannya masuk. “Aaagghh..” rasanya memang benar-benar luar biasa walaupun kejantananku agak sedikit terasa ngilu, tapi nikmatnya luar biasa. Lalu terdengar suara erangan Tante Titik.
Lalu Tante Titik mulai menyuruhku untuk menggerakkan kemaluanku di dalam kewanitaannya, yang membuatku semakin gila. Ia sendiri pun mengerang-ngerang dan mendesah tak karuan. Beberapa menit kami begitu hingga suatu saat, seperti ada sesuatu yang membuat liang kewanitaannya bertambah licin, dan makin lama Tante Titik terlihat seperti sedang menahan sesuatu yang membuat dia berteriak dan mengerang dengan sejadi-jadinya karena tidak kuasa menahannya. Dan tiba-tiba kemaluanku terasa seperti disedot oleh liang kewanitaan Tante Titik, yang tiba-tiba dinding-dinding kewanitaannya terasa seperti menjepit dengan kuat sekali. Aduuh.. kalau begini aku makin tidak tahan dan.. “Aaarrgghh.. sayaang.. Tante keluar lagii..” jeritnya dengan keras, dan makin basahlah di dalam kewanitaan Tante
Titik, tubuhnya mengejang kuat seperti kesetrum, ia benar-benar menggelinjang hebat, membuat gerakannya semakin tak karuan. Dan akhirnya Tante Titik terkulai lemas, tapi kejantananku masih tetap tertancap dengan mantap.
Aku mencoba membuatnya terangsang kembali karena aku belum apa-apa. Tangan kananku meremas payudaranya yang sebelah kanan, sambil sesekali kupilin-pilin ujungnya dan kuusap-usap dengan ujung jari telunjukku. Sedang payudara kirinya kuhisap sambil menyapu ujungnya dengan lidahku. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang keluar dan terasa hambar dari ujung payudaranya, yang ternyata susu.
“Ssshh.. shh..” desahan Tante Titik sudah mulai terdengar lagi. Aku memintanya untuk berganti posisi dengan doggy style. Awalnya dia menolak dengan alasan belum pernah bersetubuh dengan gaya itu, setelah aku beritahu alasanku, akhirnya dia mau juga dengan berpesan agar aku tidak memasukkan air maniku ke dalam liang kewanitaannya.
Aku mencoba untuk menusukkan kejantananku ke dalam liang kewanitaannya, pelan tapi pasti. Kepala Tante Titik agak menengok ke belakang dan matanya melihat mataku dengan sayu, sambil dia gigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang timbul. Sedikit demi sedikit aku coba untuk menekannya lebih dalam. Kejantananku terlihat sudah tertelan semuanya di dalam kewanitaan Tante Titik, lalu aku mulai menggerakkan kejantananku perlahan-lahan sambil menggenggam buah pantatnya yang bulat. Dengan gaya seperti ini, desahan dan erangannya lebih keras, tidak seperti gaya konvensional yang tadi.
Aku terus menggerakkan pinggulku dengan tangan kananku yang kini meremas payudaranya, sedangkan tangan kiri kupergunakan untuk menarik rambutnya agar terlihat lebih merangsang dan seksi.
“Ssshh.. aarrgghh.. oohh.. terus sayaang.. terus.. aarrgghh.. oohh..” Tante Titik terus mengerang.
Beberapa menit berlalu, kemudian Tante Titik merasa akan orgasme lagi sambil mengerang dengan sangat keras sehingga tubuhnya mengejang-ngejang dengan sangat hebat, dan tangannya mengenggam bantalan sofa dengan sangat erat. Beberapa detik kemudian bagian depan tubuhnya jatuh terkulai lemas menempel pada sofa itu sambil lututnya terus menyangga pantatnya agar tetap di atas.
Dan aku merasa kejantananku mulai berdenyut-denyut dan aku memberitahukan hal tersebut padanya, tapi dia tidak menjawab sepatah kata pun. Yang keluar dari mulutnya hanya desahan dan erangan kecil, sehingga aku tidak berhenti menggerakkan pinggulku terus.
Aku merasakan tubuhku agak mengejang seperti ada sesuatu yang tertahan, sepertinya semua tulang-tulangku akan lepas dari tubuhku, tanganku menggenggam buah pantat Tante Titik dengan erat, yang kemudian diikuti oleh keluarnya cairan maniku di dalam liang kewanitaan Tante Titik. Mata Tante Titik terlihat agak terbelalak ketika merasakan ada cairan yang memenuhi bagian dalam dari kewanitaannya.
Sesaat kemudian aku ambruk di atas tubuhnya, tubuhku terasa sangat lemas sekali. Setelah kami berdua merasa agak tenang, aku melepaskan kejantananku dari liang nikmat milik Tante Titik.
Dengan agak malas Tante Titik membalikkan tubuhnya dan duduk di sampingku sambil menatap tajam mataku dengan mulut yang agak terbuka, sambil tangan kanannya menutupi permukaan kemaluannya.
“Kok dikeluarin di dalem sih Mas Dio..? tanyanya dengan suara yang agak bergetar.
“Tadi kan saya sudah bilang ke Tante, kalau punya saya berdenyut-denyut, tapi Tante nggak ngejawab sama sekali..” kataku membela diri.
“Ya kan terasa kalau sudah mau keluar..” katanya.
“Saya mana tahu rasanya kalau mau keluar.. ini kan yang pertama buat saya. Jadi saya belum tahu rasanya..” jawabku.
“Terus entar kalau jadi gimana?” katanya lagi.
“Nggaakk tahu Tante..” jawabku dengan suara yang agak terbata-bata karena takut dengan resiko tersebut.
“Ya sudahlah.. tapi lain kali kalau sudah kerasa kayak tadi itu langsung buru-buru dicabut dan dikeluarkan di luar ya..?” katanya menenangkan diriku yang terlihat takut.
“I.. iiya Tante..” jawabku sambil menunduk.
Lalu Tante Titik berdiri menghampiri video dan TV yang masih menyala, dan mematikannya. Kemudian tangannya dijulurkan, mengajakku pindah ke kamar untuk tidur. Akhirnya kami tertidur pulas sampai pagi sambil saling berdekapan dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun.
Itulah awal dari perbuatan-perbuatan saya bersama Tante Titik. Selama hampir 2 tahun Tante Titik memberi saya banyak pelajaran dan kenikmatan yang sangat luar biasa. Terkadang jika Tante Titik sedang sangat menginginkannya, aku selalu siap melayaninya, kecuali jika keadaanku sedang tidak fit atau sedang ada keperluan keluarga atau sekolah. Dan jika aku yang sedang menginginkannya, Tante
Titik sangat tidak keberatan melayaniku, bahkan dia terlihat sangat senang. Tidak jarang aku diajak pergi untuk melakukan fitness atau olah raga atau hanya sekedar jalan-jalan atau ngerumpi bersama teman-temannya. Akhirnya aku baru tahu kalau Tante Titik sebenarnya sangat haus akan seks, dia adalah wanita yang bertipe agak mendewakan seks. Dan dia akan melakukan apa saja demi seks. Tapi sebenarnya pula dia tidak begitu kuat dalam bersetubuh, sehingga dia bisa berkali-kali mengeluarkan cairannya dan berkali-kali pula tubuhnya terkulai lemas.
Kurang puas rasanya kalo hanya cerita, sekarang liat aja ilustrasi tante titik yang mirip dengan video ini.
ini dia sosok yang mirip tante titik 99% Tante Cantik Cobain BH Pamer Susu
Aneka kisah dan cerita fantasi seksual yang terheboh juga terupdate di Indonesia!
Cerita Sex adik kakak yang sangean
Selesai sekolah Sabtu itu langsung dilanjutkan rapat
pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai persiapan sekaligus
pembentukan panitia kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan anak-anak kelas 3
sudah tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa orang pengurus
inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai rapat, aku bergegas mau
langsung pulang, soalnya sorenya ada acara rutin bulanan: pulang ke rumah ortu
di kampung. Belum sempat aku keluar dari pintu ruangan rapat, suara nyaring
cewek memanggilku.
“Didik .. “ aku menoleh, ternyata
Sarah yang langsung melambai supaya aku mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada
sesuatu yang pengin aku omongin sama kamu,” kata Sarah setelah aku mendekat.
“Tapi Rah, sore ini aku mau ke
kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman sebentar kok Dik. Kamu tunggu
dulu ya, aku mberesin ini dulu,” Sarah agak memaksaku sambil membenahi
catatan-catatan rapat. Akhirnya aku duduk kembali.
“Dik, kamu pacaran sama Nita ya?”
tanya Sarah setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Sarah
sengaja melama-lamakan membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan ngomong berdua
denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik
bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah
berhenti sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama
Nita,” jawabku datar.
“Ah, masa. Temen-temen banyak yang
tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering ke rumah Nita,” kata
Sarah lagi.
“Jalan bareng kan nggak lantas
berarti pacaran tho,” bantahku.
“Paling juga pakai alasan kuno ‘Cuma
temenan’,” Sarah berkata sambil mencibir, sehingga wajahnya kelihatan
lucu, yang membuatku ketawa. “Cowok di mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”
“Ya terserah kamu sih kalau kamu
nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak
pacaran sama Nita.”
Aku sama sekali tidak bohong pada
Sarah, karena aku sama Nita memang sudah punya komitmen untuk ‘tidak ada
komitmen’. Maksudnya, hubunganku dengan Nita hanya sekedar untuk kesenangan dan
kepuasan, tanpa janji atau ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan
seperlunya pada Sarah, tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu
utama hubunganku dengan Nita.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke
rumahku?” tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.
“Kan udah kubilang tadi, aku mau
pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?”
tanya Sarah dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih,
terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nita terus?” aku gantian
bertanya.
“Enggak kok, nggak kenapa-kenapa,”
elak Sarah. Akhirnya kami jalan bersama sambil ngobrol soal-soal ringan
yang lain. Aku dan Sarahpun berpisah di gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu
sopirnya, sedang aku langsung menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat
berjanji untuk main ke rumah Nita lain waktu.
*****
Diam-diam aku merasa geli. Masak
malam minggu itu jalan-jalan sama Sarah harus ditemani kakaknya, dan diantar
sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar menciumpun rasanya hampir mustahil.
Sebenarnya aku agak ogah-ogahan jalan-jalan model begitu, tapi
rasanya tidak mungkin juga untuk membatalkan begitu saja.
Rupanya aturan orang
tua Sarah yang ketat itu, bakalan membuat hubunganku dengan Sarah jadi sekedar
roman-romanan saja. Praktis acara pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan
makan di ‘food court’.
Di tengah rasa bete itu aku coba
menghibur diri dengan mencuri-curi pandang pada Mbak Indah, baik pada saat
makan ataupun jalan. Mbak Indah, adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah
satu perguruan tinggi terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau
sebulan sekali. Sama sepertiku, hanya beda level.
Kalau Mbak Indah kuliah di
ibukota propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya
mudiknya ke kota kecamatan.
Wajah Mbak Indah sendiri hanya masuk
kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan Sarah. Kuperhatikan wajah Mbak Indah
mirip ayahnya sedang Sarah mirip ibunya. Hanya Mbak Indah ini lumayan tinggi,
tidak seperti Sarah yang pendek, meski sama-sama agak gemuk.
Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak
Indah ada pada toketnya. Lumayan gede dan kelihatan menantang kalau dilihat
dari samping, sehingga rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik T-Shirtnya
yang longgar itu. Aku jadi ingat Nita. Ah, seandainya tidak aku tidak ke rumah
Sarah, pasti aku sudah melayang bareng Nita.
Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah
mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem
sama Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya
tidak mengerti.
“Sarah itu anak lugu, tapi kamu
jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin
bingung.
“Alah, pura-pura. Dari wajahmu itu
kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku hanya diamsambil merasa heran
karena apa yang dikatakan Mbak Indah itu betul.
“Kamu bete, karena malem ini kamu
nggak bisa ngapa-ngapain sama Sarah, ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Indah
yang tadinya tutur katanya halus dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,”
hardiknya sambil melotot.
“Memang nggak boleh senyum. Abisnya
Mbak Indah ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini
lembut kayak Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.
“Ih, senyam-senyum mlulu. Senyummu
itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu juga mata mesum!” Mbak Indah makin
naik, wajahnya sedikit memerah.
“Mbak cakep deh kalau marah-marah,”
makin Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku menggodanya.
“Denger ya, aku nggak lagi bercanda.
Kalau kamu berani macem-macem sama adikku, aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak
Indah nampak benar-benar marah.
Akhirnya kusudahi juga menggodanya
melihat Mbak Indah seperti itu, apalagi pengunjung mall yang lain kadang-kadang
menoleh pada kami. Kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan Sarah selama
ini, sampai pada acara ‘apel’ pada saat itu.
“Kalau soal pengin ngapa-ngapain,
yah, itu sih awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah lenyap. Sarah sepertinya
bukan cewek yang tepat untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya
roman-romanan aja,” kataku mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu
terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku
sih lebih baik begitu,” kataku lagi.
“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu
beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”
Aku berpikir sejenak mencerna maksud
pertanyaan Mbak Indah itu. Akhirnya aku mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau
aku diam-diam sering memperhatikan dia.
“Yah .. masak jalan sama adiknya,
Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah itu Sarah muncul dan dilanjutkan
acara belanja di dept. store di mall itu. Selama menemani kakak beradik itu,
aku mulai sering mendekati Mbak Indah jika kulihat Sarah sibuk memilih-milih
pakaian. Aku mulai lancar menggoda Mbak Indah.
Hampir jam 10 malam kami baru keluar
dari mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan
belanja. Sebelum keluar dari mall Mbak Indah sempat memberiku sobekan kertas,
tentu saja tanpa sepengetahuan Sarah.
“Baca di rumah,” bisiknya.
***
Aku lega melihat Mbak Indah datang
ke counter bus PATAS AC seperti yang diberitahukannya lewat sobekan
kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat
setengah jam.
“Sori terlambat. Mesti ngrayu
Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik pagi-pagi,” Mbak Indah langsung ngerocos sambil meletakkan
hand-bag-nya di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak
berkedip memandanginya. Mbak Indah nampak sangat feminin dalam kulot
hitam, blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku
pandangi, Mbak Indah memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil,
dan kami pun tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus
berangkat.
Dalam perjalanan di bus, aku tak
tahan melihat Mbak Indah yang merem sambil bersandar. Tanganku pun mulai
mengelu-elus tangannya. Mbak Indah membuka mata, kemudian bangun dari
sandarannya dan mendekatkan kepalanya padaku.
“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?”
ledeknya sambil berbisik.
“Kan lain jurusan,” aku membela
diri. “Adik-nya jurusan roman-romanan, Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak
melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak Indah sudah lebih dulu memencet hidungku.
Selebihnya kami lebih banyak diam sambil tiduran selama perjalanan.
***
Yang disebut kamar kos oleh Mbak
Indah ternyata sebuah faviliun. Faviliun yang ditinggali Mbak Indah kecil tapi
nampak lux, didukung lingkungannya yang juga perumahan mewah.
“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Indah
mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman satu, dilarang mengganggu tetangga.
Jadi, cuek adalah cara paling baik.”
Aku langsung merebahkan tubuhku di
karpet ruang depan, sementara setelah meletakkan hand-bag-nya di dekat kakiku,
Mbak Indah langsung menuju kulkas yang sepertinya terus on.
“Nih, minum dulu, habis itu mandi,”
kata Mbak Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.
“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih, jorok. Males aku deket-deket
orang jorok,” Mbak Indah tampak cemberut. “Kalau gitu, aku duluan mandi,”
katanya sambil menyambar hand-bag dan menuju kamar. Aku lihat Mbak Indah tidak
masuk kamar, tapi hanya membuka pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu
dia berjalan ke belakang ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan
menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”
“Ih, maunya .. “ Mbak Indah menjawab
sambil tersenyum. Melihat itu aku langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak
Indah. Langsung kupeluk dia dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi.
Kusibakkan rambutnya, kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku
mengusap-usap pinggulnya yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak
Indah, sebelum dia memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke
leherku.
“Katanya mau mandi?” setelah berkata
itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran, dipencet dan ditariknya sehingga terasa
agak panas. Setelah itu diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku
bertelanjang dada. Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting
jeans-ku. Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya, sepertinya sudah terbiasa.
Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang bulat di
depan Mbak Indah.
“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil
menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.
“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,” kata Mbak Indah yang
diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos hitamnya, sehingga bagian
atasnya tinggal BH warna hitam yang masih dipakainya. Aku tak berkedip
memandangi sepasang toket Mbak Indah yang masih tertutup BH, dan Mbak Indah
tidak melanjutkan melepas pakainnya semua sambil tersenyum menggoda padaku.
Birahi benar-benar sudah tak bisa
kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga sepasang toket-nya yang
besar itu terlepas.
“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak,
emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran. Tapi aku sudah tidak
peduli. Sambil memeluknya mulutku langsung mengulum tokenya yang sebelah kanan.
Mbak Indah tidak berhenti mendesah
sambil tangannya mengusap-usap rambutku. Aku makin bersemangat saja, mulutku
makin rajin menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri bergantian. Kukulum,
kumainkan dengan lidah dan kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang makin
intens itu Mbak Indah mulai menjerit-jerit kecil di sela-sela desahannya.
Beberapa menit kulakukan aksi yang
sangat dinikmati Mbak Indah itu, sebelum akhirnya dia mendorong kepalaku agar
terlepas dari toketnya. Mbak Indah kemudian melepas BH, kulot dan CD-nya yang
juga berwarna hitam. Sementara bibirnya nampak setengah terbuka sambil mendesi
lirih dan matanya sudah mulai sayu, pertanda sudah horny berat.
Belum sempat mataku menikmati
tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah menggenggam
rudalku. Kemudian Mbak Indah berjalan mundur masuk kamar mandi sementara
rudalku ditariknya. Aku meringis menahan rasa sakit, sekaligus pengin tertawa
melihat kelakuan Mbak Indah itu.
Mbak Indah langsung menutup pintu
kamar mandi setelah kami sampai di dalam, yang diteruskan dengan menghidupkan
shower. Diteruskannya dengan menarik dan memelukku tepat di bawah siraman air
dari shower. Dan …
“mmmmhhhh …. “ bibirnya sudah
menyerbu bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan aksi serupa. Seterusnya,
siraman air shower mengguyur kepala, bibir bertemu bibir, lidah saling mengait,
tubuh bagian depan menempel ketat dan sesekali saling menggesek, kedua tangan
mengusap-usap bagian belakang tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.
Tak ingat berapa lama kami melakukan
aksi seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi duduk, tak ingat persis
siapa yang mulai. Aku duduk bersandar pada dinding kamar mandi, kali ku
luruskan, sementar Mbak Indah duduk di atas pahaku, lututnya menyentuh lantai
kamar mandi. Kemudian kurasakan Mbak Indah melepaskan bibirnya dari bibirku,
pelahan menyusur ke bawah. Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati
leherku, berpindah-pindah. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di
dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan bibirnya. Kemudian
turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar. Tangannya menggenggam
rudalku, didorong sedikit ke samping dengan lembut, sementara lidahnya terus
mempermainkan pusarku. Puas di situ, turun lagi, dan bijiku sekarang yang jadi
sasaran. Sementara lidahnya beraksi di sana, tangan kanannya mengusap-usap
kepala rudalku dengan lembut. Aku sampai berkelojotan sambil mengerang-erang
menikmati aksi Mbak Indah yang seperti itu.
Pelahan-lahan bibirnya merayap naik
menyusuri batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala, sementara tangannya
ganti menggenggam bagian batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati, berpindah
dan berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat. Beberapa saat
kemudian, kutekan kepala Mbak Indah ke bawah, sehingga bagian batanku pun masuk
2/3 ke mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik turun pelahan-lahan,
berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati
lagi, kemudian diteruskan naik turun lagi. Pertahananku nyaris jebol, tapi aku
belum mau terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Indah
seperti melawan. Hal itu terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil
mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya.
Kuangkat kepala Mbak Indah,
sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut bibirnya.
Pelan-pelan kurebahkan Mbak Indah yang masih memejamkan mata sambil mendesis
itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil mulutku melahap kedua toketnya,
sementara tanganku meremasnya bergantian.
Erangannya, desahannya,
jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di tengah gemericik siraman air
shower.
Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di gundukan yang ditumbuhi bulu
lebat, namun tercukur dan tertata rapi. Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu
itu, sehingga pemiliknya menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua
pahanya yang putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku
di bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan ke
daging menonjol di antar belahan memek Mbak Indah. Pantat Mbak Indah mulai
bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau lebih tepatnya
meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak menyakitkan.
Kumasukkan
jari tengahku ku lubang memeknya, ku keluar masukkan dengan pelan. Desisan Mbak
Indah makin panjang, dan sempat ku lirik matanya masih terpejam. Kupercepat
gerakan jariku di dalam lubang memeknya, tapi tangannya langsung meraih
tanganku yang sedang beraksi itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak
melepas tangannya dari tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah
meraih tanganku lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku
bergerak pelahan di dalam memeknya.
Beberapa menit kemudian, kurasakan
Mbak Indah mengangkat kepalaku menjauhkan dari memeknya. Mbak Indah membuka
mata dan memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di dinding kamar mandi.
Seterusnya merayap ke atasku, mengangkang tepat di depanku. Tangannya meraih
rudalku, diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang memeknya.
“Oooooooooooohh ,” Mbak Indah
melenguh panjang dan matanya kembali terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke
dalam memeknya. Mbak Indah mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali
pinggulnya membuat gerakan memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak Indah
yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan rudalku dari bawah
dengan cukup cepat. Mbak Indah menghentikan gerakannya, tangannya menekan
dadaku cukup kuat sambil kepala menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi
sodok itu. Hal itu terjadi beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak
kecewa, sampai akhirnya Mbak Indah membuka matanya, tangannya mengusap kedua
mataku seperti menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.
Setelah beberapa saat aku memejamkan
mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan telingaku apa yang dari tadi tidak
kuperhatikan, aku mulai bisa merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan.
Desahan dan erangan Mbak Indah ternyata sangat teratur dan serasi dengan
gerakan pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang
menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu indah.
Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan sekelilingku
terasa begitu indah, seperti nama wanita yang sedang menyatu denganku.
Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan kenikmatan luar biasa yang
menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang sedikit-sedikit, seperti mengalir
pelahan di seluruh syarafku, dan mengendap sampai ke ulu hatiku.
Beberapa menit kemudian gerakan Mbak
Indah berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada sekitar 5 detik dia diam
saja dalam posisi seperti itu. Kemudian kedua tangannya meraih kedua tanganku
sambil melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat
kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak Indah tidak jatuh ke belakang.
Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan terasa menekan-nekan
rudal dan pantatku.
“Aaa .. aaaaaa …
aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil Mbak Indah itu
disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan. Mbak Indah menjatuhkan
diri padaku seperti menubruk, tangannya memeluk tubukku, sedang kepalanya
bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya dan kubelai-belai Mbak Indah yang
baru saja menikmati orgasmenya. Sebuah cara orgasme yang eksotik dan artistik.
Setelah puas meresapi kenikmatan
yang baru diraihnya, Mbak Indah mengangkat kepala dan membuka matanya. Dia
tersenyum yang diteruskan mencium bibirku dengan lembut. Belum sempat aku
membalas ciumannya, Mbak Indah sudah bangkit dan bergeser ke samping. Segera
kubimbing dia agar rebahan dan telentang di lantai kamar mandi. Mbak Indah
mengikuti kemauanku sambil terus menatapku dengan senyum yang tidak pernah
lepas dari bibirnya. Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya seperti
empot-empotkan ke lubang memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas
semuanya Mbak Indah memelekku sambil berbisik pelan.
“Jangan di dalam ya sayang, aku
belum minum obat,” aku mengangguk pelan mengerti maksudnya. Setelah itu mulai
kugoyang-goyang pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku ingin
merasakan kembali kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu
hati seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa lama mencoba. Akhirnya
aku membuat gerakan seperti biasa, seperti yang biasa kulakukan pada tante Ani
atau Nita. Bergerak maju mundur dari pelan dan makin lama makin cepat.
“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir pada
puncak, dan Mbak Indah cukup cekatan. Didorongnya tubuhku sehingga rudalku
terlepas dari memeknya. Rupanya dia tahu tidak mampu mengontrol diriku dan lupa
pada pesannya. Seterusnya tangannya meraih rudalku sambil setengah bangun.
Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku bergeser ke
depan sehingga rudalku tepat berada di atas perut Mbak Indah.
“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt…
crotttt ..,” beberapa kali spermaku muncrat membasahi dada dan perut
Mbak Indah. Aku merebahku tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak Indah,
sambil memandanginya yang asyik mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku
jadi sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan kata-kata itu.
***
Selama di bus dalam perjalanan
pulang aku memejamkan mata sambil mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku
dapat dari Mbak Indah. Saat di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di
kamarnya. Seorang wanita dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh
perasaan.
“Kalau sekedar mengejar kepuasan nafsu,
itu gampang. Tapi aku mau lebih. Aku mau kepuasan nafsuku selaras dengan
kepuasan yang terasa di jiwaku.”
Kepuasan yang terasa di jiwa, itulah
hal yang kudapat dari Mbak Indah dan hanya dari Mbak Indah, karena kelak
setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja belum pernah kudapatkan kenikmatan
seperti yang kudapatkan dari Mbak Indah. Kepuasan dan kenikmatan yang masih
terasa dalam jangka waktu yang cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.
“Ingat ya, jangan pernah sekali-kali
kamu lakukan sama Sarah. Kalau sampai kamu lakukan, aku tidak akan pernah
memaafkan kamu!” Aku terbangun, rupanya dalam tidurku aku bermimpi Mbak Indah
memperingatkanku tentang Sarah, adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk
terminal.
Langganan:
Komentar (Atom)



